PURWOKERTO—Para penggemar novel dan bacaan sastra pasti mengenal nama Ahmad Tohari. Sastrawan asli Banyumas ini sudah menerbitkan puluhan novel, beberapa diantaranya bahkan difilmkan.
Lahir 13 Juni 1948, kini Tohari sudah 75 tahun, namun fisiknya masih sehat. Ia tinggal di rumahnya yang asri di desa Tanggar Jaya, Jatilawang , Banyumas, Jawa Tengah, di pinggiran jalan raya jalur selatan, menuju Jogyakarta.
Rumahnya tampak bersih dan sejuk oleh banyaknya pepohonan. Di sekitarnya terdapat kolam ikan dan kebun buah-buahan. Tohari manikmati masa tua dalam kedamaian alam desa, meski pada masa lalu ia malang melintang di Jakarta sebagai wartawan dan penulis.
Ahmad Tohari adalah sastrawan yang produktif. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari.
Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti International Writing Programme di Iowa City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa.[3]
Tulisan-tulisannya berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka (surat kabar), majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karier kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek.
Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil, Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis. Karyanya ini dianggap ke kiri-kirian oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Tohari diinterogasi selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari menghubungi sahabatnya Gus Dur, dan akhirnya terbebas dari intimidasi dan jerat hukum.[4]
Bagian ketiga trilogi, berjudul Jantera Bianglala, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa edisi Silenced Voices terbitan Honolulu University tahun 2000, termasuk bagian yang disensor dan tidak dimuat dalam edisi bahasa Indonesia.[5]
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari (2011). Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya.[6] Pada bulan Desember 2011, Ahmad Tohari mengungkapkan bahwa dirinya berencana untuk melanjutkan Triloginya menjadi Tetralogi dengan membuat satu novel lagi.[7]
Penghargaan
Dikutip dari Wikipedia, pada tahun 1977, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Ahmad Tohari memperoleh Hadiah Harapan Sayembara Kincir Emas Radio Nederlands Wereldomroep. Judul cerita pendeknya yaitu Jasa-jasa buat Sanwirya.[8] Lalu pada tahun 1980, novel karangannya yang berjudul Kubah memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama. Selanjutnya tiga novelnya yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1986.[butuh rujukan]
Novelnya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak (1986) juga menjadi pemenang salah satu hadiah Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979.[9] Pada tahun 1995 Ahmad Tohari menerima Hadiah Sastra Asean, SEA Write Award.[1] Sekitar tahun 2007 Ahmad Tohari menerima Hadiah Sastra Rancage.[7]
Karya tulis[sunting | sunting sumber]
- Jasa-jasa buat Sanwirya (cerpen, 1977)
- Kubah (novel, 1980)
- Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (diadaptasi menjadi film tahun 2011):
- Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)
- Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
- Jantera Bianglala (novel, 1986)
- Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
- Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989)
- Bekisar Merah (novel, 1993)
- Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
- Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000)
- Belantik (novel, 2001)
- Orang Orang Proyek (novel, 2002)
- Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
- Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007
- Mata yang Enak Dipandang (kumpulan cerpen, 2013)
Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggris Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala diterbitkan oleh Lontar Foundation dalam satu buku berjudul The Dancer diterjemahkan oleh Rene T.A. Lysloff. Pada tahun 2011, trilogi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk diadaptasi menjadi sebuah film fitur yang berjudul Sang Penari yang disutradarai Ifa Isfansyah. Film ini memenangkan 4 Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2011.