PURWOKERTO– Jumlah warga yang terdampak kemarau panjang dan mengalami kesulitan air bersih terus meningkat di wilayah eks Karesidenan Banyumas. Demikian pula dengan sawah yang kekeringan.
Berbagai laporan dari Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap menunjukkan peningkatan jumlah warga yang menderita kesulitan air bersih untuk keperluan memasak dan mandi.
Pemda setempat berusaha memasok kebutuhan air bersih ke pelosok-pelosok yang mengalami krisis air, namun peningkatan permintaan juga bertambah setiap hari. Sejumlah lembaga masyarakat juga membantu pengadaan dan penyaluran air bersih tersebut.
Khusus untuk Kabupaten Banyumas, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyumas, hingga saat ini terdapat 25 desa di 15 kecamatan yang mengalami krisis air bersih.
“Sampai saat ini jumlah desa terdampak 25 desa di 15 kecamatan. Terdiri dari 9.134 KK (kepala keluarga) dengan jumlah 29.373 jiwa,” ungkap Budi Nugroho, Kepala Pelaksana BPBD Banyumas, Kamis (14/9/2023).
*Dikutip Radar Banyumas, Budi Nugroho mengatakan bahwa untuk status Banyumas meningkat menjadi darurat kekeringan masih akan segera dikaji. “Besok kita mau rapatkan dulu, untuk menaikkan statusnya. Jadi kita rapat, bagaimana hasil penilaian kita lintas sektoral, pakar, BMKG. Apakah nanti kita perlu status darurat,” jelasnya.
Menurutnya, adanya keterangan status, maka penanganan akan lebih mudah. “Jelas kalau kita naikkan statusnya kita lebih mudah mengerahkan sumber daya. Karena ini masih ditangani reguler, dan untuk status tersebut masih usulan, dan hasilnya kita kaji bersama,” paparnya.
Dikabarkan sebelumnya bahwa ratusan hektar pertanian mengalami kekeringan. Wilayah Banyumas Barat seperti di Kecamatan Jatilawang, Wangon, Gumelar, Ajibarang, Lumbir, Rawalo pun tak luput dari krisis air bersih.
Di Desa Karanlewas, Kecamatan Jatilawang, puluhan hektar sawah mengalami kekeringan setelah hampir 8 bulan tak hujan. Hamparan sawah seluas samudra nampak tandus dan tanah sawah pun retak retak.
Darurat kekeringan
Pemkab Banjarnegara telah menetapkan status dari siaga darurat menjadi tanggap darurat bencana kekeringan. Penetapan ini dihasilkan usai rapat koordinasi terkait kekeringan di ruang apat Banjarnegara, Jumat (8/9/2023).
Rapat kordinasi dipimpin oleh PJ Bupati Banjarnegara, Tri Harso Widi Rahmanto, S.H, dan dihadiri dari berbagai unsur terkait yakni Kodim 0704, Polres Banjarnegara, BPBD, Dinsos, Satpol PP, Direktur PDAM Kabupaten Banjarnegara dan para para pengampu kebijakan lainnya.
PJ Bupati mengatakan, makin meluasnya dampak kemarau yang terjadi sejak lebih dari dua bulan terakhir, mendorong Pemkab Banjarnegara untuk menetapkan status dari siaga darurat menjadi tanggap darurat bencana kekeringan.
“Sudah banyak laporan dari masyarakat yang masuk untuk dibantu air bersih, serta wilayah yang mengalami kekeringan, sehingga dibutuhkan gerak cepat dari kita semua untuk melakukan penanganan kekeringan,” ungkapnya.
Penetapan status dari siaga darurat bencana menjadi tanggap darurat bencana, menurut Tri Harso, berlaku 60 hari ke depan. Dikatakan oleh Tri Harso, anggaran penanggulangan kekeringan di Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara semakin menipis karena tersedot untuk droping air ke desa/ kelurahan terdampak kemarau yang jumlahnya terus bertambah.
“Upaya penanganan, selain melakukan droping air, juga akan dibuat sumur-sumur bor sebagai solusi jangka panjang. Sumur bor dibuat lokasi paling rawan kekeringan, pada titik-titik tertentu sesuai kajian dari geospasial. Kita akan dropping air bersih dengan menggandeng berbagai pihak,” imbuhnya.
Dropping air bersih untuk wilayah kota dan desa-desa krisis air tersebar di pegunungan selatan Banjarnegara. utamanya di wilayah Kecamatan Purwanegara, Mandiraja, Bawang dan Pagedongan. Beberapa desa seperti Desa Jalatunda Kecamatan Mandiraja dan Petir Kecamatan Purwanegara telah membuat membuat lubang-lubang di dasar sungai yang nyaris kering. Cara tersebut dilakukan untuk memperoleh air bersih.
Air bersih
Dari Purbalingga dilaporkan sebanyak 31 desa mengalami krisis air bersih. Desa-desa tersebut tersebar di 10 kecamatan, yaitu Karangreja, Karanganyar, Kertanegara, Kemangkon, Kejobong, Kaligondang, Rembang, Bojongsari, Kutasari, dan Mrebet.
Kepala Pelaksana BPBD Purbalingga Priyo Satmoko mengatakan berdasarkan prakiraan dari BMKG, puncak musim kemarau terjadi pada September. “Makanya, sampai sekarang krisis air bersih yang melanda Purbalingga masih terjadi,” katanya, pekan lalu.
Menurutnya, puluhan desa itu mengajukan permintaan air bersih untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Hingga kemarin, sudah ada 220 tangki air bersih atau setara lebih dari 1 juta liter untuk memenuhi kebutuhan warga yang kekeringan,” ujarnya.
Mereka yang mendapat bantuan air bersih sebanyak 1.058 keluarga atau 4.049 jiwa. “Air bersih yang dikirimkan untuk warga tidak hanya berasal dari BPBD. Suplai air bersih juga berasal dari Polres, PMI, Baznas, Lazismu, dan lainnya,” jelas Priyo.
Sementara itu, BPBD Kabupaten Cilacap, menyatakan jumlah warga di wilayah itu yang terdampak kekeringan pada musim kemarau 2023 telah mencapai 9.153 jiwa dari 3.011 keluarga.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Cilacap Budi Setyawan di Cilacap, beberapa waktu lalu, ribuan warga yang terdampak kekeringan itu tersebar di delapan desa yang ada di empat kecamatan.
Seperti diketahui musim kemarau jika melanda Kabupaten Banyumas selalu menjadi momok masyarakat yang wilayahnya rawan air bersih. Pemerintah Kabupaten Banyumas terutama melalui pemerintah desa selalui berupaya memenuhi pasokan agar masyarakat tidak menderita.(*)