Kebutuhan beras di Cilacap tercukupi, bahkan berlebih
CILACAP–Dinas Pertanian (Dispertan) Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, menyatakan produksi padi di wilayah itu sudah surplus hingga kisaran 230.000 ton gabah kering giling (GKG) atau setara 147.246 ton beras pada bulan Juli 2023.
“Dengan surplus sebesar itu sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan di wilayah Kabupaten Cilacap, bahkan ada kelebihan,” kata Kepala Bidang Tanaman Pangan Dispertan Kabupaten Cilacap Mlati Asih Budiarti di Cilacap, Kamis.
Ia mengakui harga gabah di tingkat petani saat sekarang cukup bagus karena harga GKP sudah mencapai Rp7.000 per kilogram dan harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp6.000/kg.
Akan tetapi permasalahannya, kata dia, hasil panen petani di Cilacap yang berlebih itu justru dibawa keluar wilayah tersebut karena dibeli oleh pengusaha-pengusaha besar dengan harga tinggi, sehingga penggilingan padi setempat tidak bisa bersaing.
Menurut dia, Perum Bulog pun tidak sanggup membeli hasil panen petani dalam rangka menyiapkan cadangan beras pemerintah karena harganya jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang sebesar Rp5.000/kg untuk GKP dan Rp6.200/kg untuk GKG.
“Bahkan, pengusaha-pengusaha besar itu berani beli gabah kering panen di sawah dengan harga lebih dari Rp6.000/kg. Petani sebenarnya diuntungkan, hanya saja posisinya sekarang kita jadi terancam inflasi karena harga beras naik,” jelasnya, dikutip Antaranews.com.
Ia mengatakan kenaikan harga beras di pasar umum yang saat ini telah mencapai kisaran Rp11.500-Rp12.000/kg untuk kualitas medium itu terjadi karena penggilingan padi di Cilacap kekurangan stok.
Terkait dengan kondisi tersebut, dia mengimbau petani agar tidak menjual seluruh gabah hasil panennya untuk disimpan sebagai persediaan hingga masa panen berikutnya.
“Jangan sampai Cilacap yang merupakan produsen beras justru harga berasnya tinggi. Jangan sampai pula petani membeli beras dengan harga yang mahal,” tegasnya.
Disinggung mengenai perkembangan dampak kemarau tahun 2023 terhadap tanaman padi di Cilacap, Mlati mengatakan berdasarkan data per tanggal 24 Agustus terdapat 93 hektare tanaman padi yang puso akibat kekeringan dan 309 hektare yang terancam kekeringan.
Menurut dia, tanaman padi yang terancam kekeringan itu berusia 57 hari setelah tanam hingga menjelang panen dan saat ini sedang diupayakan penyelamatan melalui pompanisasi.
Terkait dengan prakiraan awal musim tanam pertama tahun 2023-2024, dia mengatakan sesuai jadwal, hal itu akan berlangsung pada bulan Oktober dan diharapkan curah hujan sudah cukup untuk pengolahan tanah dan persemaian.
Di sisi lain, kata dia, saat ini masih berlangsung pengeringan saluran irigasi dalam rangka perbaikan di Daerah Irigasi (DI) Serayu dan DI Menganti.
Menurut dia, saluran irigasi dari Bendung Gerak Serayu di Kabupaten Banyumas dan Bendung Menganti atau Sungai Citanduy di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Barat dijadwalkan akan kembali dialiri air pada tanggal 1 Oktober.
“Harapan kami nanti kalaupun curah hujan belum cukup, air dari bendung itu bisa mencukupi untuk petani memulai tanam padi,” kata Mlati.
Sebelumnya, Pimpinan Cabang Perum Bulog Banyumas Rasiwan mengatakan realisasi pengadaan pangan yang dilaksanakan Bulog Banyumas telah mencapai kisaran 28.000 ton atau sekitar 90,33 persen dari target tahun 2023 yang sebesar 31.000 ton setara beras.
“Penyerapan sudah cukup baik. Kalau akhir tahun ini, kami menyadari untuk penyerapan memang kesulitan dari posisi harga,” kata Pimpinan Cabang Perum Cabang Banyumas Rasiwan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (28/8).
Menurut dia, hal itu disebabkan harga GKG di tingkat penggilingan sudah mencapai kisaran Rp7.000-Rp7.200/kg, sedangkan GKP di tingkat petani saat sekarang sebesar Rp6.000/kg
Terkait dengan hal itu, dia mengaku telah berdiskusi dengan Dinas Pertanian di wilayah Banyumas Raya jika ke depan, penyerapan akan diubah menjadi pengadaan tertutup agar tidak tergantung pada harga di pasar umum.
“Kemudian agar gabah itu tidak ke luar kota, tapi ke luar kotanya sudah dalam bentuk beras. Jangan-jangan beras yang ada sekarang, gabahnya dari kita tapi diproduksi oleh orang luar kota yang kembali ke Banyumas menjadi beras,” jelasnya.